BERITA PILIHAN

Mengembalikan Kekuatan Sanggar Bambu

Share |

MATADUNIA | YOGYAKARTA - Delapan perupa anggota Sanggar bambu menggelar pameran drawing bertajuk “Nasirun di Sarang Ahli Gambar” di Galeri Livia Sanggar Bambu, selama dua pekan Juni ini. Drawing menjadi salah satu kekuatan Sanggar Bambu yang didirikan sejak tahun 1959 di Yogyakarta ini.


“Dulu, anggota Sanggar Bambu pernah menghasilkan drawing yang sangat bagus. Boleh dikatakan, salah satu kekuatan Sanggar Bambu dibanding sanggar lainnya adalah drawing,” kata Totok Buchori, Ketua Sanggar Bambu, Minggu (27/6).

Pameran ini diikuti oleh anggota baru Sanggar Bambu seperti Ambar Pranasmara, Bambang PK, Bima Batutama, Dadah S, Deden FG, Rifzikka Triputra serta Totok Buchori sendiri. Pameran ini juga menggandeng Nasiun, perupa tenar yang juga anggota Sanggar Bambu.

Totok Buchori mengakui pameran kali ini terkesan seadanya. Selain jumlah karya yang terbatas, juga lokasi pameran yang relatif sempit (lantai dua sebuah toko di kawasan Kauman Yogya). “Awalnya para perupa muda anggota Sanggar Bambu menginginkan pameran drawing gede-gedean, misalnya di stasiun Tugu. Namun karena tak ada dana, akhirnya hanya pameran seadanya,” katanya.

Menurut Totok Buchori, ada perbedaan mencolok antara angkatan tua dan anggota muda Sanggar babu saat ini. Dulu, katanya, Sanggar Bambu terkenal dengan aliran potretisme dengan arsir atau goresan yang jelas dan liar. “Perupa muda sekarang, goresannya lebih halus, tidak liar seperti dulu,” jelasnya.

Perupa Sanggar Bambu tempo dulu, lanjut Totok, juga terfokus pada bentuk-bentuk fisik atau anatomi yang sangat kuat. “Sedangkan anggota Sanggar Bambu saat ini tidak lagi terfokus pada bentuk-bentuk fisik dan anatomi. Mereka lebih bebas menggarap tema,” jelasnya.

Sebagian besar peserta pameran masih menghadirkan karya drawing yang merekam aktivitas masyarat. Bima Batutama, misalnya, menghadirkan sejumlah karya yang merekam aktivitas bakul-bakul di pasar. Beberapa perupa menghadirkan karya berupa potret diri atau rekaman situasi Yogya tempo dulu, seperti kawasan Tugu.

Totok Buchori mengusung dua karya, masing-masing “Dzuafa” (karya tahun 1983) dan “Manuk Guwek” (karya tahun 2010) berupa sosok Jemek Supardi dengan burung hantu bertengger di lengan kanannya. Sedangkan Nasirun mengusung dua karya, masing-masing “Piala Dunia Afrika” dan “Kaktus Menangis”, keduanya menggunakan bahan tinta Cina di atas kertas.

Yang menariuk justru karya Rifzikka Triputra, anggota Sanggar Bambu sejak tahun 1984. Alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1987 ini mengusung seri karya berjudul “Digital Teror”. Tiga diantaranya merespons iklan produk elektronik di koran.

Iklan HP, televisi serta jam tangan di halaman koran, kemudian diresmpon dengan pensil khusus EB dan EE. Rifzikka menghadirkan makhluk aneh mirip sosok dalam film Alien, dengan memanfaatkan benda-benda elektronik pada halaman iklan salah satu koran terbitan Jakarta.

“Koran atau media massa, pada saat tertentu, menjadi teror bagi masyarakat. Demikian juga benda-benda elektronik, akhirnya menjadi teror bagi masyarakat. Lihat saja, saat ini orang tak lagi bisa lepas dari ketergantungan akan benda-benda elektronik,” ujarnya.

Menurut Totok Buchori, Sanggar Bambu akan tetap konsisten dengan ciri khasnya, yakni menggarap materi pameran yang tidak dilirik oleh penyelenggara pameran lainnya. “Jika kali ini kami memamerkan drawing, lain kali kami akan pameran lukisan cat air, pastel atau sketsa. Pokoknya materi yang tidak dilirik oleh penyelenggara pameran lainnya,” katanya.

lintasberita

0 komentar

Leave a Reply

Advertisment