Puluhan karya mereka banyak mengeksplorasi dunia imajiner yang dipadukan dengan simbol-simbol realitas. Pada karya Menunggu Bidadari, misalnya, Ketut Jaya berusaha menangkap lamunan dan harapan masyarakat. Situasi itu dilatarbelakangi oleh simbol seperti rembulan, bintang, dan matahari.
Adapun pada karya Aura Binatang, Ketut Jaya menampilkan visinya mengenai imajinasi para gajah. Binatang raksasa itu tampak termenung dalam suasana spiritual. ”Lukisan-lukisannya memang cenderung naif dan surealis,” kata Made Kaek, pemilik Paros Galeri.
Atas alasan itu, tutur Kaek, pameran ini diberi judul Dua di Jalur Kiri. Jalur kiri berarti pilihan untuk menghadirkan lukisan bukan sebagai sarana memuaskan penikmatnya sehingga sangat disukai pasar. Tapi lukisan itu justru mengajak untuk melakukan perenungan dan menyelami kedalaman.
Esais Dewa Made Palguna, yang menulis pengantar di katalog, menyatakan jalur kiri yang dimaksud oleh kedua pelukis samasekali tidak berkaitan dengan perlawanan ideologi yang dominan di masa Orde Baru. Kiri hanya berarti sebagai penanda jalan alternatif dari jalan dominan yang dilakoni para perupa.
Palguna meyakini bahwa jalur itu mengandung risikonya sendiri. “Kalau jaman dulu ditangkap aparat, sekarang mungkin dijauhi kolektor,” ujarnya.
Meski begitu, Palguna menambahkan, dia yakin lukisan ini tetap akan mendapat ruang di kelompok tertentu yang menghargai karya seni lebih dari sekadar nilai keindahannya. (Tempo)
0 komentar