Korbannya tak sedikit. Delapan orang luka-luka dan tiga orang dipastikan tewas. Kepala Satuan Reskrim Polres Jakarta Selatan Komisaris Nurdi Satriaji membeberkan korban tewas bernama Agustinus Romazona, kelahiran tahun 1961. Pria ini warga Kramatjati, Jakarta Timur.
Dua korban tewas lainnya adalah Syaifudin yang lahir tahun 1962. Ia tercatat sebagai warga Kebon Nanas, Jakarta Timur. Satu lagi bernama Ceko Key.
Sedangkan, korban luka-luka dibawa ke RS Jakarta Medical Center dan RS Fatmawati. Rupa-rupa luka dialami korban. Mulai dari luka bacok, kena panah, ditembak hingga luka akibat hantaman benda tumpul. Sadisnya lagi, ada korban yang dicincang.
Bahkan, korban bukan hanya dari dua kubu yang bertikai. Tapi juga dari polisi. Kapolres Jakarta Selatan Kombes Gatot Edi bersama sejumlah anak buahnya turut jadi korban.
Gatot terserempet peluru di kaki kirinya. Beruntung peluru hanya merobek celana dinas dan melukai betisnya. Namun malang menimpa sang ajudan. Peluru yang sempat menyerempet kaki kiri Gatot malah mengenai dan bersarang di kaki kanan sang ajudan.
"Tiga petugas juga kena luka tembak, termasuk ajudan saya. Saya kena duluan, baru ajudan saya," ungkap Gatot. Ketiga korban dari kepolisian itu kini dirawat di RS Pusat Pertamina dan RS Fatmawati.
***
Lalu bagaimana bisa terjadi bentrokan ini?
Sesungguhnya, bentrokan berdarah sudah terjadi sebelum persidangan kasus pertengkaran di klub malam Blowfish enam bulan lalu digelar di pengadilan kemarin. Bentrokan bermula dari adanya serangan satu kelompok dari luar sidang.
"Sebelum sidang dimulai, tiba-tiba ada kelompok dari arah Cilandak menyerang kelompok yang berada di PN Jakarta Selatan," kata Kapolres Jakarta Selatan Komisaris Besar Polisi Gatot Edy Pramono.
Mereka datang dengan tiga mobil bus Kopaja. Setelah tiba di pengadilan, satu kelompok massa dalam mobil itu melakukan serangan kepada kelompok di dalam gedung. Sidang yang semula akan menghadirkan sejumlah saksi malah berubah jadi ajang pertikaian.
Polisi dan petugas keamanan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebenarnya sudah mengantisipasi potensi adanya bentrokan. Antisipasi ini merujuk pada sidang sebelumnya yang juga bentrok. Ketika mulai ada tanda-tanda bentrok di depan pengadilan, polisi dan petugas keamanan mencoba melerai kedua kelompok. Sayangnya, upaya petugas tidak berhasil. Bentrokan pun pecah.
Bentrokan di Jalan Ampera Raya tidak muncul begitu saja. Ini diduga terkait dengan kasus kerusuhan di klub malam Blowfish pada 4 April 2010 lalu, yang menewaskan tiga orang.
Namun, kasus Blowfish bukan satu-satunya bentrok yang pernah terjadi. Kasus Blowfish malah disebut-sebut sebagai rentetan dari kasus-kasus sebelumnya. Meski polisi menyebut motif hanya kesalahpahaman, namun kabar yang muncul adalah soal perebutan lahan bisnis antar kelompok lama.
Melihat dari sejarahnya, keributan antar kelompok ini memang kerap berlangsung. Pada 2 Maret 2004 silam, pernah terjadi keributan di Diskotek Stadium, Jakarta Barat. Dalam peristiwa ini dua orang tewas dan lima pelakunya dijatuhi hukuman 5 bulan penjara. Selama proses persidangan di Pengadilan Jakarta Barat juga terjadi keributan sebagai imbas kasus Diskotek Stadium.
Pada Juni 2004 lalu, bentrokan terjadi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Walterus Refra alias Buang, 43 tahun, terbunuh di jalan depan Pengadilan.
Pada 2007, cerita kekerasan antar kelompok kembali meletus. Sekelompok orang mengamuk di Diskotek Hailai, Jakarta Utara hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa sebab yang jelas.
Perkelahian antara kelompok ini kemudian berulang di Diskotek Stadium pada Juli 2009. Keributan pada Sabtu malam ini menyebabkan satu orang tewas dan dua lainnya luka parah. Polisi menyebutkan motif keributan karena salah satu kelompok tidak diperkenankan masuk ke diskotek. Puluhan pelaku ditangkap di berbagai lokasi, seperti Bekasi dan Depok, Jawa Barat.
Barulah pada April 2010 terjadi keributan di Blowfish dengan motif yang diduga hampir sama. Keributan inilah yang berlanjut hingga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ironisnya, kerusuhan justru terjadi di tempat orang mencari keadilan. (hs/Viva) (Photo. Yudhi Mahatma/Antara)
0 komentar