Bagi pecinta batik kuno, Shinta Dhanuwardoyo, atau yang juga akrab dipanggil sebagai Shinta Bubu, penghargaan UNESCO merupakan penghargaan terhadap karya seni klasik bercita rasa tinggi. Bukan semata-mata terhadap keindahan kain batik itu sendiri, tapi penghargaan terhadap para pengrajin batik di pedesaan. Namun, di balik popularitas batik yang kini makin mendunia, Shinta tak ingin batik hanya menjadi euforia di negeri sendiri.
Seluruh masyarakat Indonesia memiliki tugas untuk menjaga penghargaan yang diberikan UNESCO. Ia mengajak masyarakat tak ragu memikat dunia dengan batik.
Batik kini memang tak lagi sekedar jarik atau kemben yang identik dengan masyarakat tempo dulu atau pedesaan. Wujudnya pun tak melulu helaian kain panjang tanpa jahit. Kain bermotif yang dilukis dengan lilin atau malam itu telah menjadi bagian tren fashion.
Berbagai inovasi terus dilakukan demi memikat pasar dunia. Tanpa menerjang pakem batik tradisional, sejumlah industri mode di tanah air berkreasi mengawinkannya dengan detail modern.
Perancang muda Lenny Agustin misalnya, adalah salah satu pegiat mode yang serius mengolah batik sebagai bagian tren fashion. “Saya ingin anak muda zaman sekarang bangga mengenakan batik sebagai pakaian sehari-hari seperti masyarakat zaman dulu.”
Perancang mode dan kalangan industri mode, menurut dia, harus terus mengeksplor batik, baik dari segi desain, dan motif. Kreatifitas sangat dibutuhkan agar batik tetap eksis. “Motif batik klasik memang harus dipertahankan, tetapi tidak ada salahnya untuk lebih berkreasi dengan motif-motif yang lebih bersifat kekinian,” kata Lenny.
Semangat serupa ditunjukkan Oscar Lawalatta. Perancang muda ini tak lelah berkreasi dengan batik tradisional. Penghargaan UNESCO membuatnya semakin percaya diri memamerkan busana batik ke mancanegara.
“Saya selalu berusaha untuk mengeksplor unsur-unsur etnik Indonesia dan memasukkannya dalam rancangan saya. Kebudayaan kita itu sungguh beragam dan sangat eksotis. Dengan mengeksplorasi dan memasukkan dalam tiap rancangan, buat saya, merupakan sebuah kebanggaan,” kata Oscar.
***
Terangkatnya batik ke kancah internasional tidak bisa lepas dari peran maestro batik tanah air Nursjirwan Tirtamidjaja, dikenal sebagai Iwan Tirta. Wafat beberapa bulan lalu, seniman dan desainer batik itu meninggalkan warisan perjuangan yang telah berbuah manis.
Jauh sebelum anak muda masa kini begitu percaya diri mengenakan batik, Iwan sudah berjuang mempromosikan keindahan batik ke mancanegara.
Master hukum lulusan Yale University itu memiliki andil besar dalam mentransformasikan kain tradisional batik menjadi sebuah gaun modern yang mewah. Ia memberi citarasa modern demi menduniakan batik.
Melalui karyanya, Iwan Tirta pun berhasil membuat tokoh dunia Nelson Mandela terpikat batik. Hampir dalam setiap kesempatan, tokoh anti-apartheid yang sangat dihormati bangsa Afrika Selatan ini selalu mengenakan batik di berbagai forum dunia. Batik Mandela kebanyakan dari Indonesia.
Kegemaran Mandela mengenakan busana khas Indonesia itu membuat bangsa Afrika menjadi akrab dengan batik. Hanya, mereka lebih mengenal batik dengan sebutan ‘Madiba's Shirt’ alias pakaian Mandela. Madiba adalah nama populer untuk menyebut Mandela.
Batik memang tak hanya ditemui di Indonesia. Selain di Afrika dengan sebutan ‘Madiba's Shirt’, batik juga ada di Malaysia, Jepang, China, India, Jerman, dan Belanda.
Namun, menurut Shinta, batik Indonesia memiliki ciri khas. Ada beberapa motif klasik yang tak mungkin ditemui di negara manapun seperti Kawung, dan Sido Mukti.
“Yang paling membedakan, batik Indonesia paling halus karena cantingnya sangat kecil sehingga menghasilkan gambar yang halus dan rapi,” ujarnya. “Sementara di beberapa negara lebih cenderung batik pabrikan atau printing.”
Sebagai pecinta batik klasik, Shinta tak merasa terganggu dengan perkembangan industri. Ia justru melihat perkembangan batik modern sebagai hal positif. “Sentuhan modern membuat batik lebih bisa go international,” ujarnya. “Ketika industri memainkan batik, itu artinya kerajinan batik tradisional di pesisir dan pedesaan juga tak akan mati.” (Viva)
0 komentar